Sharia dan Negara Bangsa: Di Mana Letak Perbedaan Paradigmanya
Bagi sebagian besar orang, negara-bangsa (nation-state) diterima sebagai sesuatu yang alamiyah. Ia diterima seperti apa adanya. Penyebabnya sederhana: setiap kita lahir ketika institusi bernama negara-bangsa telah ajeg berdiri. Tidak terbanyang, misalnya, seseorang hidup tanpa identitas kewarganegaraan. Orang-orang tanpa status kewarganegaraan (stateless persons) dianggap sebagai orang paling tidak beruntung.
Tapi bagi yang mempelajari sejarah hukum dan tatanan hukum dunia, negara-bangsa adalah sebuah fenomena sejarah yang terbilang baru. Ingat, Indonesia sebagai sebuah negara baru berdiri pada tahun 1945. Itu artinya baru sekali.
Di tempat asal ide negara-bangsa muncul, di Eropa, negara-bangsa juga baru dikenal setelah perjanjian damai di Westphalia, sebuah kota kecil di Munster, Jerman, pada 1648. Perjanjian itu mengakhiri perang 30 tahun di Eropa antara Imperium Katolik Roma dengan kekuatan-kekuatan Protestan serta kelompok anti-Roma lain. Dalam perjanjian itu, konsep kedaulatan politik negara (sovereignty) dibentuk: kini para pemberontak di utara, di dataran rendah Eropa, menjadi entitas merdeka dan berdaulat dari campur tangan Imperium Katolik Roma.
Konsep itu lantas tersebar ke seluruh dunia. Diimpor dan dipaksakan lewat mekanisme penjajahan. Bersamaan dengan perubahan tatanan sosi-politik dan organisasi politik, diimpor pula model sitem hukum yang sepenuhnya baru bagi sebagain besar masyarakat di luar Eropa.
Kini hampir semua negara-bangsa mengadopsi model sistem hukum Eropa Kontinental atau Hukum Inggris (common law). Sisa-sisa sistem hukum pra-kolonial, baik hukum adat (kebiasaan) maupun hukum agama (terutama Islam), secara parsial diakomodasi dan dibentuk-ulang agar cocok pada kerangka baru (negara-bangsa).
Sebagai konsekwensi dari perubahan signifikan dalam tatanan sosio-politik dan sistem hukum karena kolonialisme itu, banyak sistem hukum yang sudah ratusan tahun (bahkan ribuan tahun) ajek sebagai basis tata hukum dan moral harus mengalami perubahan. Sistem hukum Sharia secara sistematis hancur dan digantikan oleh sistem hukum Eropa.
Muslim yang hidup pada masa kini secara otomatis harus dihadapkan pada dua kenyataan yang sama-sama niscaya. Pertama, mereka tidak mungkin menghindar dan keluar dari tatanan negara-bangsa. Kedua, berdasarkan keyakinannya, mereka memiliki kewajiban dan keinginan untuk menerapkan tatanan hukum dan moral berdasarkan Sharia (sharia-based governance). Sharia disini tentu tidak diartiakan secara sempit (ahkam). Sharia adalah keseluruhan hukum/jalan ketuhanan yang meliputi proses, metodologi dan moralitas.
Apa susahnya merekonsiliasi keduanya? Pertanyaan itu sepertinya mudah untuk dijawab. Toh gagasan ‘syariatisasi’ sudah banyak muncul. Banyak negara mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, negara di mana Sharia ingin diterapkan.
Disitulah letak persoalannya. Sharia sebagai sebuah tatanan paradigma yang memiliki corak tersendiri, harus dipaksakan dan diterapkan dalam model negara-bangsa yang memiliki tatanan paradigma tersendiri yang unik. Bahkan keduanya cenderung bertolak-belakang. Tanpa proses kreatif, aspirasi penerapan Sharia dalam model negara-bangsa hanya berujung pada keanehan-keanehan yang tidak masuk akal. Shariatisasi negara malah banyak berujung pada despotisme.
Wael Hallaq bahkan sampai pada kesimpulan ekstrim: negara-Islam adalah sebuah kemustahilan karena keduanya berdiri pada dua paradigma yang saling bertolak belakang.
Pertanyaan model akomodasi seperti apa yang bisa dipakai sebagai model organisasi politik umat Islam adalah pertanyaan besar yang jadi pekerjaan rumah para pemikir Muslim ke depan. Yang jelas, secara prinsipil model organisai politik itu meniscayakan kehadiran negara-bangsa, beserta keseluruhan sistem dan paradigmanya, pada saat yang sama tidak membuang dan mengorbankan sistem dan paradigma Sharia.
Untuk tulisan singkat ini, saya ingin memberikan ringkasan perbedaan paradigmatik sitem negara-bangsa dengan sistem Sharia. Agar mudah, saya simpan ringkasan itu dalam kolom berikut.
Paradigma Hukum Islam | Paradigma Negara Bangsa |
Model tatanan hukum Sharia senantiasa curiga dan bahkan menolak proses politik dalam penentuan susbtansi hukum. Akomodasi proses politik terjadi pada taraf minimal. Substansi hukum sepenuhnya menjadi bidang para juris/faqih (para ahli hukum). Itulah kenapa hukum Islam tidak mengenal preseden hukum ‘negara’. Kewenangan eksekutif membuat hukum berhenti pada Khalifah al-Rasyidah. Itupun karena posisi 4 eksekutif awal itu sebagai ‘faqih’. | Subtansi hukum tidak bisa dilepaskan dari proses politik. Substansi dan proses hukum itu sepenuhnya menjadi bagian dari proses politik. Pada model monarki, hukum ditentukan oleh kehendak raja. Pada model demokrasi, substansi hukum ditentukan melalui proses negosiasi politik di lembaga perwakilan. |
Sharia memandang hukum sebagai puncak kedaulatan (ultimate legal sovereignty). Dalam pandangan ini, politik (siyasa), hanyalah pelayan dari Sharia. Politics must serve the interest of the law | Dalam model tatanan negara bangsa, kedaulatan tertinggi berada pada domain kekuasaan politik (total appropriation jural/state of sovereignty) |
Sharia bersifat sentrifugal: bergerak menjauh dari pusat. Ia tersebar dan terdesentralisasi. Pada model ini, tatanan hukum Sharia juga bersifat horizontal (bergerak kesamping). Misalnya, jika ada proses banding (appeal), prosesnya tidak diajukan ke hiraki yang lebih tinggi. Ketidakpuasan terhadap satu putusan (appeal) bisa diselesaikan dengan merujuk pada keputusan ‘faqih’ lain. Semacam second opinion. Sultan, Khalifah, secara historis, tidak memiliki kekuatan apapun untuk memutus sebuah perkara (dalam model negara Bangsa, presiden bisa memutuskan perkara (presidential or royal pardon) | Ide dasar hukum pada model negara bangsa adalah sentralisasi hukum. Hukum harus diseragamkan bagi semua orang. Selain itu hukum harus terpusat pada kekuatan negara. Karena itu hukum berjalan ke atas (law operates vertically). Proses banding dilakukan oleh pengadilan lebih tinggi. Dalam model negara bangsa, eksekutif seperti presiden bisa memutuskan perkara (presidential or royal pardon). |
Sharia secara normatif tidak pernah mewakili kepentingan kelas sosial. Ia hanya mewakili kepentingan hukum dan pengetahuan. Para juris dan ahli hukum dalam praktiknya tidak boleh mewakili kepentingan dirinya. Karena jika demikian, kredibilitas dan otoritasnya akan dipertanyakan. | Negara bangsa sering berfungsi sebagai alat dominasi kelas. Namun demikin, dominasi itu harus disembunyikan lewat dalih kepentinagn umum atau kepentingan rakyat. |
Hukum Islam, dalam paradigam Sharia, adalah model hukum akar rumput. Para ahli hukum (juris) adalah bagian dari masyarakat itu. Dengan asumsi ini, hukum Islam adalah model hukum self-governing (model yang mengatur dirinya sendiri). | Hukum adalah kekuatan yang dipaksakan oleh negara lewat paksaan (law is super-imposed). Ia dipaksakan dari atas dan karena itu ia tidaklah bisa mengatur dirinya seniri. (ruled from above) |
Paradigma Sharia bergerak pada arah keberagaman (geared toward plurality). Sharia tidak pernah memiliki kepentingan penyeragaman identitas kewargaan atau penyeragaman hukum. Madzhab hukum tumbuh subur dan sama-sama memiliki legitimasi. Karena itu, paradigm ini tidak menekankan adanya monolopi kekerasan (monopoly of violence) untuk membatasi perbedaan. Lebih lanjut, Sharia selalu curiga pada kekuatan diskresi eksekutif | Paradigma negara bangsa bergerak pada arah penyeragaman dan homogenisasi. (geared toward homogenization of social order and national citizen). Penyeragaman ini digerakan oleh sistem pendidikan, budaya dan yang terpenting hukum. Hukum harus sama dan segaram untuk semua orang. Kodifikasi adalah salah satu contoh bagaimana usaha penyeragaman itu dilakukan. Untuk memuluskan tujuan itu, negara mengkalaim sah untuk memonopoli penggunaan kekerasan dan pengawasan (monopoly of surveillance and violence) |
Mengenal perbedaan paradigmatik ini tentu hanyalah langkah awal bagi usaha rekonsiliasi. Perbedaan itu bukanlah hal yang mutlak adanya. Ia hanya usaha generalisasi untuk melihat secara jelas perbedaan keduanya. Dalam praktinya yang unik, banyak model negara yang telah mengalami perubaan dan adaptasi. Misalnya, gerakan multikulturalisme telah memaksa negara untuk mengakomodasi keberagaman dan menghindari homogenisasi dan penyeragaman.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan mencerahkan. Wallahu’alam (Zezen Zaenal Mutaqin)

