Jumpa Muka

Jumpa muka

Jumpa pikiran dan jiwa

Kita bangun dunia baru bahagia…

Saya tidak akan melanjutkan syair lagu kesukaan saya ketika jaman dulu kuliah. Jika dilanjutkan syair itu akan menjadi ideologis. Itu lagu perjuangan organisasi saya ketika di Ciputat. Namun kali ini saya tidak akan bertutur perihal seluk-beluk masa kuliah dulu.

Saya membatasi syair lagu sampai di situ karena, entah kenapa, syair lagu itu menggelora, menghentak di kepala saya sejak pagi. Begitu keluar dari ruangan 360 De Neve, angin yang sejuk menerpa wajah saya tiba-tiba menggemakan lagi itu. Terbayang dibenak saya tangan-tangan terkepal meski muka anak-anak mahasiswa itu tirus kurang gizi. Penuh gelora.

Syair itu begitu penting dan menyentuh, juga menggelorakan semangat saya karena saya baru sadar ternyata yang selama ini ditemuai bukan muka dan manusia yang berdarah-daging dan bertulang, yang berempati dan berperasaan. Selama ini saya, atau kita, sibuk berjumpa muka halaman depan gawai, muka halaman komputer yang menghantar pesan. Muka itu adalah muka datar yang tidak punya sedih, senang, empati dan simpati. Tetapi karena begitu merasuknya dunia digital dalam kehidupan kita, ketika kita membaca sebuah pesan di muka gawai atau layar komputer, kita seolah telah ‘berjumpa’ dengan si pengirim pesan dan telah menangkap maksudnya. Padahal ilmu bahasa mengajarkan kita bahwa tulisan tidak pernah bisa sepenuhnya mewadahi maksud atau intensi kita sebagai manusia. Tulisan hanya membawa sebagian besar pesan, tidak semuanya.

Selama ini, semua urusan kita coba selesaikan di muka komputer dan gawai. Di kantor, meski rekan kerja kita di ruang sebelah, kita lebih senang mengirim pesan lewat email daripada datang langsung. Untuk urusan kantor memang terkadang lebih baik mengirimkan pesan tertulis lewat email agar komunikasi kita terekam oleh sistem, berjaga-jaga jika suatu saat ada perselisihan. Kita tinggal lihat arsip email kita. Tapi dalam banyak kesempatan, urusan lebih mudah jika kita jumpa muka yang berjiwa, jumpa muka yang berfikiran dan berkepribadian. Secara langsung. Jumpa manusia tanpa perantara.

Itulah yang terjadi pada saya tadi pagi. Sudah beberapa kali saya berkomunikasi dengan bagian Perumahan Mahasiswa (Student Housing) dan selalu saja saya mendapati jawaban mereka atas pertanyaan saya tidak memuaskan. Saya sebelumnya menduga jika saya mengirim email untuk sebuah urusan, akan lebih mudah untuk mereka. Tapi dalam prakteknya tidak. Terkadang yang menjawab email kita hanya pekerja kontrak atau intern. Orang yang mungkin tidak mengerti urusan secara keseluruhan. Mungkin si operator harus menjawab puluhan bahkan ratusan email sehingga dia tidak terlalu fokus menjawab pertanyaan kita dan mengirim satu dua kalimat pesan dengan terburu-buru

Atas saran seorang kawan, saya bergegas pagi itu ke kantor mereka di salah satu sudut kampus UCLA di jalan De Neve. Setelah sedikit kesasar karena tempatnya jauh dari gedung fakultas hukum, akhirnya saya sampai dengan keringat mulai membentuk embun di ujung alis mata saya. Setelah masuk ke ruangan itu dan mengucapkan ‘selamat pagi….’. Seorang pegawai perempuan menghampiri saya dan bertanya: ‘ada yang bisa saya bantu?’ Setelah saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke kantor itu, ia meminta saya menunjukan kartu mahasiswa dan mengambilnya. Ia meminta saya menunggu sebentar karena harus memanggil orang yang bertanggung jawab untuk urusan Perumahan untuk Mahasiswa yang Berkeluarga.

Seorang lelaki keturunan India—atau mungkin dari negara lain di Asia Selatan—memghampiri saya dengan membawa kartu mahasiswa yang tadi sempat diambil oleh staf yang menghampiri saya pertama kali. Dengan senyum dia mendekati saya dan sekali lagi meminta saya menjelaskan apa maksud kedatangan saya.

“Saya berencana membawa keluarga saya ke Amerika dalam waktu dekat. Saya butuh sekali perumahan untuk keluarga saya. Sebuah apartemen dengan dua kamar. Saya sudah daftar melalui situs kampus sebagaiman diminta Univeristas. Saya berharap bisa pindah ke apartemen kampus sekitar bulan Desember.” Tutur saya panjang.

Lelaki itu lantas menempelkan kartu mahasiswa saya kepada mesin pembaca barcode. Tidak menjawab apa-apa. Untuk sementara dia sibuk mencari data saya di komputer. Setelah itu keluar jawaban yang membuat hati saya lega: ‘oh iya, nama anda sudah tercantum dan ada di urutan 25. Mestinya pada bulan Desember anda bisa pindah ke Apartmen kampus.”

Saya seperti terlepas dari mulut buaya mendengar ucapannya itu. Lega. Plooong..

Mencari perumahan di LA adalah pekerjaan paling sulit dan menyebalkan. Butuh kesabaran. Haganya mahal sekali. Hampir tidak ada perumahan dengan dua kamar yang harganya diabawah 2000 dollar di dekat kampus. Untuk harga yang murah, 1500 dollar, saya harus mencarinya jauh dari peradaban kampus, ke daerah Ingelwood atau Chrenshaw. Mungkin ibarat kuliah di Salemba rumahnya harus di Bekasi atau Ciputat. Satu-satunya perumahan terjangkau dekat kampus adalah perumahan milik UCLA. Tapi untuk mendapatkannya harus sabar dan antri.

Setelah berbincang sejenak tentang beberapa hal sambil bercanda dengan lelaki India di kantor itu, saya berpamitan. Saya keluar dari pintu dengan sebuah kejelasan kapan kira-kira saya bisa pindah ke apartemen kampus. Itu artinya saya punya rencana jelas kapan anak-anak dan istri tercinta tiba di LA. Kapan saya harus pindah dari kontrakan sementara di Santa Monica. Dan pagi tadi saya setidaknya mengakhiri hari-hari dihantui harga perumahan di LA yang gila dan transportasi yang buruk.

Dan semua itu terselesaikan karena saya berjumpa dengan muka yang punya perasaan dan empati, berjumpa muka yang berjiwa dan berfikiran. Urusan saya selesai bukan lewat dua tiga baris pesan yang dikirim tergesa-gesa lewat pesan singkat atau email. Urusan saya selesai oleh selembar senyuman dan sedikit keringat; percakapan yang hadir utuh dengan jiwa dan perasaan yang tergambar dari raut muka, sorot mata dan gerakan lincah tangan kita.

Leave a Reply

%d bloggers like this: