Catatan dari LA: Kerinduan

boy-sitting-alone

Setelah hampir dua minggu, rasa rinduku semakin mejadi-jadi. Ketika memejamkan mata, yang terbayang adalah malaikat kecil dengan rambutnya yang lurus seperti sutra dan matanya yang besar dengan alis membentuk semenanjung di atas matanya. Malaikat kecil yang setiap malam menggelayut di pundakku selepas sembahyang di Mushala dekat rumah: Yarra. Berbarengan dengan itu ada sorot mata lain dengan guratan yang mirip dengan wajahku namun dengan bola mata yang besar mirip ibunya: Amartya. Yang lain jelas adalah bayangan istriku, perempuan yang telah bersamaku meniti hari-hari selama tujuh tahun. Wajah mereka selalu saja berkelebat kemanapun aku pergi.

Dan di dalam dadaku kini ada ruang kosong. Sebuah ruang yang diisi hanya oleh bayangan atau suara dan gambar bergerak yang lekas hilang.

Kita pernah merasakan rindu, bukan?

Pertama kali aku merasa sangat ingin pulang ke rumah adalah ketika aku berumur 12 tahun. Saat itu ayah dan ibuku mengantarku ke pondok pesantren. Aku yang meminta kepada mereka untuk sekolah di pondok meski guru-guruku ingin aku masuk ke sekolah negeri. Ketika mereka berpamitan pulang dan menghilang ditelan persimpangan, ketika itu aku merasa kehilangan. Seminggu pertama selalu ingat rumah, ingat kawan-kawan sepermainan, dan terutama ingin makan masakan ibu. Saat itu hidup adalah kesendirian, tapi juga kemandirian: ketika usiaku baru 12 tahun, aku sudah harus mengerjakan semua hal sendiri, dari mencucui pakaian sampai memasak makanan.

Itu adalah hari di mana aku mulai menjauh, semakin menjauh dari kampung halaman. Tapi hari itu juga adalah hari di mana aku selalu merasa ingin dekat, semakin dekat dengan rumah, tempat lahir dan menemukan permainan. Sebuah keinginan yang hanya sesekali diwujudkan karena kakiku sejak hari itu terus melangkah menjauh meski hatiku terus terikat di sana. Berteduh.

Terakhir aku merasa ingin sekali pulang ke rumah dan memeluk semua orang yang kucintai mungkin sekitar 5 tahun lalu ketika aku harus meninggalkan Amartya, Yarra dan Bunda untuk ke Belanda. Saat itu aku sudah punya rumah sendiri, sebuah rumah yang baru aku ciptakan. Dan itulah saat aku pertama kalinya meninggalkan mereka. Itulah saat di mana aku merasakan apa namanya kerinduan seorang ayah. Rindu ayah pada anaknya adalah rindu Yin pada Yang.

Tapi saat itu kerinduan banyak terlenakan oleh kehadiran kawan-kawan dari negeri sendiri. Leiden adalah tempat para sarjana Indonesia mengais ilmu, menemukan masa lalu yang tercecer di perpustakaan dan ruang kelas.

Setelah 5 tahun, kini aku merasakannya lagi. Kerinduan yang tak tertahankan. Kadang ingin sekali esok pagi, ketika aku terjaga, dua malaikat kecil dan seorang putri terbaring disampingku seperti biasanya. Berharap dari kamar sebelah ada suara rengekan anak kecil meminta susu atau mencari ibunya. Atau kadang berharap bus yang ditumpangi sepanjang Pico Blvd singgah di persimpangan Pamulang yang kumuh dan ramai dengan pedagang kaki lima itu untuk sekedar membeli martabak sebelum sampai di rumah.

Kalau sedang berada dalam titik rendah kesendirian, aku berfikir semua ini sia-sia karena orang-orang yang dirindukan tidak bersama kita. Kenapa tidak diam saja di rumah dengan pekerjaan yang sudah mapan dan penghasilan yang cukup? Kenapa harus menyengsarakan diri sendiri mengembara, hidup serba pas-pasan? 

Lubang di dadaku ini akan terus menganga sampai malaikat kecil dan Sang putri mengisinya kembali. Semoga dalam enam bulan. Tapi itupun jika semuanya lancar. Ada banyak hal yang membuatku berkecil hati mereka bisa segera bergabung ke sini.

LA kota yang sangat mahal. Sewa perumahan dengan dua kamar harganya dua ribu dollar. Sementara uang beasiswa hanya 2550. Belum bayar ini dan itu. Kalau mau harga sewa yang lebih murah, aku harus mencari yang jauh dari kampus, ke arah Ingelwood.

Tapi itu tidak menyelesaikan masalah karena kota ini tak punya angkutan umum yang bagus. LA adalah kota di negara maju yang angkutan umumnya paling buruk yang pernah kutemui. Aku pernah tinggal di Australian dan Eropa, karena itu bisa membandingkan. Ketika di Leiden atau Melbourne aku cukup dengan mengayuh sepeda untuk pergi ke mana-mana. Di sini bus datang hanya sejam tiga kali di hari kerja dan datang lebih lama lagi di akhir pekan. Itupun selalu saja terlambat. Jadi kalau aku tinggal di tempat yang terlalu jauh dari kampus, aku tidak yakin bisa menggunakan bus untuk pergi ke kampus.

Bisa membeli mobil sebenarnya. Tapi itu artinya aku harus mengeluarkan biaya lagi karena mobil di sini harus disertai asuransi. Belum uang bensin dan parkir yang harganya selangit. Jadi aku harus memikirkan dua asuransi setiap bulan jika membeli mobil: asuransi kondaraan dan kesehatan.

Pada akhir setiap kerinduan adalah sebuah kepasrahan. Semoga semuanya dilancarkan dan dimudahkan. Aku yakin Tuhan tidak tidur dan karena itu tangannya akan datang membantu dengan berbagai cara. 

Santa Monica, 30 Agustus 2016 (Minggu kedua di LA. Ini hanya salah satu catatan dari beberapa catatan dalam minggu ini)

Leave a Reply

%d bloggers like this: