Agamamu di ruang hampa
Selalu saja kau bilang: ini bid’ah, itu haram, ini menyerupai Nasrani dan itu menyerupai Yahudi. Tahun baru datang. Lantas kau bilang: itu haram, tak ada perayaan tahun baru dalam Islam. Niup terompet itu kaya Yahudi! Islam pakai kalender Hijri. Bagaiman kalau perayaan tahun beru di mesjid dzikir daripada pesta pora? Tetep, bid’ah! Apalagi aku mau buat-buat tradisi yang tidak ada contohnya dari Nabi!
Tapi bukan itu saja yang kau haram-haramkan. Maulid Nabi, saat kami bergembira mendengarkan, mengingat dan memuji Nabi, kau juga bilang: bid’ah! Tak ada contohnya dari Nabi, begitu kau bilang. Yang bid’ah pasti tersesat, dan yang tersesat masuk neraka!
Hormat bendera? “Bid’ah, dan haram. Tidak boleh hormat selain pada Allah.” Rajaban alias perayaan Isra Mikraj? “Haram, bid’ah. Tak dicontohkan Nabi.” Apa lagi yang kau haramkan? “Oh, perayaan ulang tahun kelahiran. Awas, jangan ya, apalagi pakai niup-niup lilin dan balon serta nyanyi-nyanyi.”
Tidak cukup disitu, kau haramkan dan bid’ahkan juga itu tahlilan di kampungku. Kau haramkan juga itu upacara seren tahun. Kau haramkan dan bid’ahkan mengeraskan niat. Kau larang dzikir dengan sura keras setelah shalat padahal aku dulu bisa dzikir karena setiap hari dengar dzikir itu di mushala kampung. Memberikan alfatihah pada arwah yang meninggal dengan maksud mendoakan, kau bid’ahkan. Puasa dan ibadah tertentu pas Nisfu Sa’ban kau larang dah bid’ahkan. Semua praktik dan dzikir tariqat dan sufi kau bid’ahkan dan haramkan. Pergi ziarah dan berdoa di kuburan kau kafirkan.
Hi, Akhi, Ukhti, hidup saja sana di gurun pasir abad ke 7. Minta ke Dora Emon buat pintu ajaib dan kau masuk ke masa lalu. Balik sana! Kalau engga, ya hidup sana bareng ISIS. Mau?
Kau hidup selama ini: ke kantor, kerja, buat janjian, buat acara pengajian, liqo-liqo, pakai kalender apa? Kau hafal tidak bulan-bulan Hijri? Bakar saja itu kalender yang menggantung dirumah antum. Ga usah pakai HP dan komputer karena semua pakai algoritma waktu Masehi. Akhi, kalender, almanak atau penanggalan itu upaya manusia mengerangkeng dan menaklukan aliran waktu. Ada yang pakai ukuran matahari, ada yang bulan. Sebelum Nabi Isa lahir, sebelum Muhammad lahir, model tanggalan matahari dan bulan sudah ada. Bukan mereka yang menemukan. Mereka hanya pakai saja. Orang Persia, orang India, orang Jawa punya model peanggalan berbeda juga berdasar matahari atau bulan. Ga ada urusannya sama akidah. Apa-apa akidah. Ngaji aja dari Youtube! Huh!
Orang yang senang sekali membid’ah-bid’ahkan, mengharam-haramkan adalah orang yangmencoba hidup di ruang hampa. Akhi dan ukhti itu seolah hidup tanpa pakai tradisi dan budaya yang berjalin berkeindan satu sama lain. Akhi dan Ukhti merasa tradisi dan budaya yang panjang itu harus dicampakan karena menyimpang. Akhi dan Ukhti merasa apa-apa harus murni, asli. Emang ada gitu yang begitu? Antum pakai tradisi juga. Tradisi Salafi Wahabi yang doyang perang dan menghancurkan sejarah.
Hi, Akhi, Ukhti, hidup kita tidak di ruang hampa. Budaya dan tradisi lahir tanpa henti. Mustahil kau tetap hidup di ruang hampa kedap udara. Tradisi itu yang melahirkan madzhab fikih yang beragam, sampai ratusan. Apa yang mereka lakukan? Mengharmonikan budaya tempat mereka hidup dengan agama. Kau bisa menghirup Islam di Indonesia karena para Wali yang dengan arif menyikapi budaya, menaklukannya dengan kecerdasan tradisi, bukan kebengisan dan intimidasi. Para wali itu memadukan Iman dengan Ihsan, akidah dengan akhlak. Tidak kaya antum: iman-iman-iman, akidah-akidah-akidah. Yang hebat itu bisa menjinakan tanpa memukul dan menakut-nakuti. Bukan kaya antum bawa-bawa pentungan, umpat sana-sini.
Jangan jadikan iman antum kaya krupuk. Kena air dikit lembek. Ini tidak boleh, itu bid’ah dan haram. Iman yang kuat siap dan berani menerjang badai. Iman yang kuat seperti obor: dengannya kau berani mengarungi malam gelap! Yang seneng haram-haramkan dan bid’ah-bid’ahkan itu biasnya yang ngaji cuma di kampus sama murabi, yang engga mesantren. Memang kalau baru tahu sedikit biasanya belagu. Atau kalau mesantren, dia mondok di pondok anak buah Wahabi Salafi.
Senang tahun baru datang, senang pas ulang tahun, senang dan bergembira pas Maulidan, itu wajar semata. Manusiawi. Yang tidak boleh adalah merayakannya dengan cara-cara yang jelas-jelas dilarang. Misalnya: mabok-mabokan, hura-hura diluar batas. Baca dzikir setelah shalat keras-keras agara anak kita mendengar dan belajar, agar terpatri dalam harinya ucapan suci, malah bagus. Sunnah! Kalau suara keras-keras buat belagu, nunjukin pinter dzikir mungkin tidak boleh. Niat sebelum Shalat agar kita semakin mantap ya bagus, bukan?
Sudah ah, keburu mau tahun baruan. Selamat bergembira. Agama itu harus ramah dan tersenyum.