Mimpi demokrasi murah
Harusnya demokrasi kita diobral. Atau setidaknya didiskon 50% saja. Sekarang, setelah 15 tahun Reformasi berjalan, kita semua menyadari demokrasi kita kemahalan.
Kemahalan dalam artian yang sesungguhnya. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Seorang calon anggota dewan harus merogoh kantong dalam-dalam. Bisa lebih 1 M untuk calon anggota DPR. Bahkan bisa jauh lebih besar.
Seorang calon walikota di tempat saya tinggal konon, menurut tim suksesnya, harus mengeluarkan uang lebih dari 30 milyar. Bayangkan, 30 milyar. Tidak habis fikir kenapa orang mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah jabatan? Atau justru uang mungkin bukan sama sekali masalah buat seseorang yang ingin jabatan? Padahal semua orang tahu, selama dia menjabat, seluruh uang gajinya jika dikumpulkan tidak akan menutupi modal poltik yang telah dikeluarkannya.
Lantas kenapa orang bisa mati bunuh-bunuhan untuk sebuah jabatan, bisa memfitnah orang atau mengeluarkan uang berapapun untuk itu? Politik itu kuasa, power. Dalam kolam yang keruh, ikan yang kuat menjadi yang paling diuntungkan. Dalam negara yang hukumnya mirip hutan rimba, hanya yang punya kuasa yang akan menang dan bertahan.
Kuasa itu pula yang digunakan untuk mengatur proyek. Untuk menentukan rekanan mana yang akan memenangkan tender. Menentukan kapan dan berapa jumlah proyek disepakati. Dari sanalah korupsi selalu bermula. Karena dari kuasalah setoran mengalir. Karena itu, gaji boleh hanya 30-40 juta sebulan, namun pendapatan bisa 10 kali lipat, bahkan lebih, dari gaji resminya.
Jadi dengan memegang kuasa, seorang pejabat leluasa menguasai sumber daya ekonomi. Kita semua tahu, sharing of power dalam sistem demokrasi kita tak lebih dari penghias buku ajar semata. Ada tapi tidak berjalan. DPR sebagai pengawas eksekutif dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang dari partai yang sama. Tak jarang kakak, adik, ipar, sepupu,anak, anak tiri, suami, menjadi orang-orang pemegang posisi yang harusnya menjalankan fungsi kontrol. Apa yang sedang berlaku sekarang sama sekali bukan demokrasi, melainkan oligarki.
Balik ke pertanyaan kita, kenapa demokrasi mahal? Bagaimana tidak mahal, seseorang harus membiayai perjalanannya sendiri bertemu konstituen, membuat tim sukses sekaligus mendanainya, membuat suvenir buat konstituen, memberikan sumbangan pada lembaga yang dikunjunginya, membuat kaus ribuan dengan gambar sang calon yang sedang tersenyum, membiayai tim media dengan mengebom koran-koran bodrek, menyogok partai politik untuk mengamankan pencalonan, dan lain-lain. Bayangkan betapa mahalnya politik kita.
Nergara juga harus mengeluarkan uang puluhan trilyun. Untuk pemilu presiden saja KPU mengajukan anggaran lebih 7 trilyun. Coba bayangkan berapa uang negara dikeluarkan untuk membiayai Pilkada di lebih dari 500 kabupaten dan 33 provinsi? Menurut FITRA, 17 trilyun rupiah harus dikeluarkan untuk menyelenggaran semua Pilkada ini. Ini belum dihitung uang politik yang tidak masuk dalam catatan negara karena sebagian uang itu gelap.
Tentu ini bukan alasan kita membenci demokrasi langsung seperti ini. Ini juga bukan alasan orang ingin sistem lain seperti kerajaan atau asistem seperti zaman Suharto. Yang harus dipikirkan bersama oleh kita adalah mencari solusi agar biaya politik demokrasi kita lebih masuk akal dan lebih murah.
Apakah jika biaya politik demokrasi lebih murah akan mengurangi tingat korupsi? Belum tentu juga. Korupsi hilang bukan hanya karena biaya poltik murah, tapi karena kontrol hukum yang ketat serta sistem yang didesain untuk meminimalisir korupsi. Tapi biaya politik murah bisa jadi juga menjadi faktor penting. Calon merasa tidak perlu mengembalikan modalnya atau modal para cukong yang membiayainya karena dia dipilih sepenuhnya oleh mekanisme terbuka yang minim biaya.
Setelah 15 tahun reformasi dan demokrasi mulai terlembaga, saatnya kita memikirkan untuk ‘merapihkan’ demokrasi dan politik kita. Ibarat patung yang dipahat, demokrasi kita sudah berbentuk, namun masih kasar dan buruk rupa. Kita harus merapihkannya bersama. Bukan mencampakkannya.